KHARIDATUL BAHIYAH
Ibadah merupakan kewajiban mahluk
pada sang kholiknya, sebagaiman tercantum dalam Al-Quran surat Adariat Ayat 56
yang artinya : tidak semata-mata aku ciptakan jin dan manusia selain hanya
untuk beribadah. Dari ayat inilah saya akan membahas tentang nikah, yaitu salah
satu sunah Rosululloh SAW. Dan beliou bersabda : “nikah itu sunahku barang
siapa yang tidak suka sunah ku ia bukan umatku”. Nikakah merupakan ibadah yang
paling enak dibandingkan dengan ibadah yang lainya, saya tertarik membahas ini
karena saya sendiri belum nikah (bujangan), jadi saya mempersiapkan dulu
ilmunya agar nanti pada waktunya saya sudah siap. Dalam ibadah kita itu harus
tau dulu ilmunya, karena kalau ibadah tanpa ilmu itu ibadanya sia-sia (tidak
diterima). Para ulama mengatakan “ilmu dulu baru ibadah bukan ibadah dulu baru
ilmunya” jadi saya dalam makalah ini saya membahas nikah. B. Rumusan Rasalah 1.
Apa pengertian nikah? 2. Apa yang harus dipersiapkan sebelum nikah? 3. Apa saja
rukun dan sarat nikah? 4. Apa hukumnya nikah? 5. Apa tujuan dan hikmah nikah ? C.
Tujuan Dengan ditulisnya makalah ini diharapkan akan menjadi sebuah stimulus
(rangsangan) kepada kaum muda yang sudah mampuh untuk menikah, agar terhindar
dari fitnah dan godaan.dan juga supaya umat islam terjaga kesucianya dan supaya
umat islam semakin banyak, D. Sistematis Penulisan Dalam sistematis penulisan
makalah ini mengunakan metode deskripsi, BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Nikah
Pernikahan adalah suatu perbuatan yang mengandung rasa hakikat dan syariat
serta sifat-sifat yang mengandungsangat dalam sekali[1].Yang menghalalkan
pergaulan dan membatasi hak serta kewajiban serta tolong menolong menolong
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang bukan mahram[2]. Ditinjau
dari segi syari’at pernikahan adalah semata- mata mengambarkan kepatuhan yang
meruakan suatu menifestasi dari kecintaan terhadap garis-garis peraturan dan
tata susila agama yang telah dirintis oleh Nabi Muhammad SAW dan disepakati
serta didukung oleh segenap para sahabat, tabiin para ulama dan seluruh kaum
muslimin yang berbudi luhur.
Pengertian nikah mengandung
tiga macam pengertian, yaitu: 1. Menurut lughot (bahasa)
2. Menurut ahli usul Fiqih
3. Menurut ulama ulama Fiqih a. Menikah menurut bahasa artinya al-wathu ( ) artinya berkumpul atau bersetubuh b. Nikah menurut ahli usul Fiqih ada tiga pendapat, yaitu: · Imam Hanapi, nikah menurut asli artinya ialah bersetubuh, menurut arti majazinya adalah akad yang denganya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. · Imam Syafii, nikah menurut arti aslinya aqad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazinya adalah setubuh. · Imam Abu Qosim dan Ibnu Hajm, nikah berkaitan antara aqad dan setubuh c. Nikah menurut Ulama Fiqih Nikah adalah aqad yang diatur oleh agama untuk memberikan hak memiliki kepada pria dalam pengunaan farji wanita, dan seluruh tubuhnya untuk dinikmati sebagai tujuan primer. Ø Syeh Jaenudin Abdul Ajij dalam kitab Pathul Muin, nikah ialah
suatu akad yang
membolehkan nya wati
(jima) dengan lapad nikah Ø Ahmad Bin Husen dalam kitab Pathu Qorib, nikah adalah akad nikah yang mengandung / kumpulnya rukun dan sarat. Ø Imam Tapiudin dalam kitab Kipayatul Ahyar, nikah adalah
suatu akad yang memenuhi
sarat dan rukun dan dengan
akad itu dihalalkanya wati
(jima). Jadi bisa disimpulkan dari beberapa definisi di atas nikah itu ialah akad yang menghalalkan hubungan laki- laki dengan perempuan yang bukan mahram, dalam akad itu dikatakan sah apabila terkumpulnya rukun dan sarat. pernikahan itu bukan saja merupakan suatu jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan ketururunan, tetapi juga dipandang sebagi suatu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum degan dengan kaum yang lainya [3] . nikah adalah sunah nabi yang mulia maka dari itu sebelum melaksanakan pernikahan niat harus diluruskan dulu karena pernikahan itu satu kali seumur hidup yang mana dalam menjalaninya tentu tidak selalu yang diharapkan pasti ada cobaan yang akan dihadapi. Untuk itu kalau niat nikahnya karena Alloh (ibadah) maka Allohpun akan menolong dalam mengarungi rumahtangga dari setiap masalah, tapi sebaliknya apabila niat kita tidak benar seperti anggapan para pemuda
dari dulu sampai sekarang, mereka ingin menikah karena beberapa sebab diantaranya : Yang pertama Karena harta. Kehendak ini datang baik dari laki-laki maupun perempuan, missal inggin menikah dengan seorang hartawan, sekalipun dia tau bahwa pernikahan itu tidak akan sesuai dengan keadaan dirinya dan kehendak masyarakat, orang yang mementingkan pernikahan disebabkan harta benda yang diharap-harapkan atau yang akan dipungutnya pandangan ini bukan pandangan yang sehat, karena ada Sabda Rosululoh SAW.yang artinya :
” barang siapa menikahi seorang perempuan karena hartanya, niscaya Alloh akan melenyapkan harta dan kecantikanya dan barang siapa yang menikahi karena agama, niscaya alloh akan member karunia kepadanya dengan harta dan kecantikannya.” (Al-Hadits) . Dan hadis yang lainya pun mengatakan kalau menikah karena kekayaan maka ia akan mendapatkan kemiskinan. Yang kedua karena kebangsawanannya, berarti mengharapkan gelar atau pangkat. Ini juga tidak akan member i paedah sebagai mana yang diharapkan, bahkan ia akan bertambah hina dan dihinakan , karena kebangsawanan salah seorang diantara suami istri itu tidak akan berpindah kepada orang lain.
Sabda Rosululoh SAW.
Artinya :
“barang siapa yang menikahi
seseorang perempuan karena
kebangsawananya niscaya Alloh tidak akan menambah
kecuali kehinaan” (Al-Hadist) Yang ketiga, karena kecantikanya, menikah karena hal ini sedikit lebih baik dibandingkan dengan harta dan kebangsawanan sebab harta bisa lenyap dengan cepat, tetapi kecantikan seseorang bisa bertahan sampai tua, asal jangan dia bersifat sombong dan bangga karena kecantikanya itu
Sabda Rosululoh SAW.
Artinya :
“ jangan kamu menikahi
perempuan itu karena
kecantikannya, mungkin kecantikannya itu akan
membawa kerusakan bagi
mereka sendiri. (H.R. Baehaki) Yang keempat, kareana agama dan ahlak. Inilah yang patut dan baik menjadi ukuran untuk pergaulan yang akan kekal, serta dapat menjadi dasar kerukunan dan kemaslahatan rumah tangga serta semua keluarga.
Firman Alloh SWT.: “Sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah
memelihara (mereka).” (An- Nisa : 34)
Sabda Rosululoh SAW. :
“Barang siapa yang menikahi
seseorang perempuan karena
agamanya niscaya Allo akan
mengaruniainya dengan harta”(Al-Hadits) Jadi jelas bahwa agama dan budi pekerti itulah yang menjadi pokok Yang utama untuk pemilihan dalm pernikahan. Dari keterangan- keterangan diatas, hendaknya wali-wali anak jangan menjodohklan anaknya, sebab kalau tidak dijalan yang benar, sudah tentu ia telah merusak ahlak dan jiwa anaknya yang tidak bersalah itu, harus dipertimbangkan dulu sedalam-dalamnya antara madarat dan manfaatnya yang akan terjadi
dikemudian hari, sebelum mempertalikan pernikahan. B. Persiapan Nikah 1. Khitbah (Melamar) Melamar adalah seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara yang sudah berlaku dalam masyarakat. [4] Meminag merupakan pendahuluan menuju nikah
Dan para ahli piqih mendefinisikan khitbah (meminang) sebagai berikut: v Wahbah Zuhaili, mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara langsung ataupun dengan perwakilan wali. v Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui. v Amir Syarifuddin, mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. v Al-hamdani, berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki
kepada anak perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah. a. Dasar dan Hukum Pinangan “Dan tidak ada dosa bagi
kamu meminang wanita-
wanita itu dengan sindiran” Dari Mughirah R.A., sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya: ” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi). Dari Abu Hurairah R.A., dia berkata, ” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-
laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum Anshar.
Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i) .
Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam al- qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumannya mubah [5]. Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu. b. Macam-Macam Peminangan Ada beberapa macam peminangan, diantaranya
sebagai berikut: 1. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.” 2. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak menyukai sepertimu.” Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan langsung aau terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh meminangnya dengan menggunakan bahasa terus terang tadi. c. Ketentuan meminang 1. Perempuan yang tidak ada halangan hukum yang mencegah sahnya nikah . Perempuan yang tidak boleh
pinang (dilamar)
a. Perempuan yang sudah bersuami b. Perempuan yang dalam masa idah c. Perempuan yang termasuk mahrom baik sementara maupuin selamanya 2. Perempuan yang belum dipinang orang lain
Dari ukbah bin amir,
Rosulluloh SAW bersabda : “orang mukmin dengan orang mukmin adalah saudara, tidak boleh mukmin meminang atas pinangan saudaranya sehingga pinangan
ditinggalkanya.”(H.R. Ahmad dam Muslim)
Menurut hukum islam jangankan baru berpacaran, yang sudah resmi dilamar pun statusnya tetap haram berdua tanpa mahromnya Dari Jabir Rosulluloh SAW
bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka janganlah sekalian mennyendiri dengan perempuan yang tidah disertai
mahromnya, sebab pihak ketiga adalah syetan” (H.R. Ahmad) d. Batas-Batas yang Boleh Dilihat Ketika Khitbah
Dalam hal ini, para ulama
terbagi menjadi empat bagian: 1. Hanya muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang dan telapak tangan ada kesuburan badannya. 2. Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut Hambali. 3. Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al- Auza’i. 4. Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang. 2. Memilih calon istri Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya: a) Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
“Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi) Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun.
Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)
Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman: “Wanita-
wanita
yang keji adalah
untuk laki- laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita- wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26) Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya : “Maka wanita-wanita yang
shalihah ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara
dirinya, oleh karena itu Allah
memelihara mereka.” (QS. An
Nisa’ : 34) Sedang wanita shalihah bagi
seorang laki-laki adalah
sebaik-baik perhiasan dunia. “Dunia adalah perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan dunia
adalah wanita shalihah.” (HR.
Muslim) b) Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam pernah bersabda : Dari Anas bin Malik, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda :
” … kawinilah perempuan
penyayang dan banyak anak
… .” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban) Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya. Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui : 1. Kesehatan fisik dan penyakit- penyakit yang menghalangi dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para
spesialis. Oleh karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna. 2. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita- wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu. c) Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama
bagi pemuda yang belum
pernah nikah. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal- hal yang akan menyusahkan kehidupannya,
menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi,
menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis : Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.” d) Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan. Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit- penyakit yang menular atau cacat secara hereditas. Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya. Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial. 3. Kriteria Memilih Calon Suami 1. Islam. Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita- wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat- ayat-Nya (perintah-perintah- Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221) 2. Berilmu dan Baik Akhlaknya. Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini
dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi) Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan kawinkanlah orang- orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba- hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32) Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban- kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan- kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah. Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia
segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu : Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim) Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki- laki :
“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka
dia tidak akan mendzaliminya.” Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya. C. Rukun Nikah Rukun nikah dalam madhab Imam Syafii, itu ada lima, rukun nikah ini harus kumpul semuanya [6] karena kalau salah satunya tidak ada, maka pernikahan tidak sah dari kelima rukun tersebut antaralain : 1. Ijab-Qabul Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihayk. Al Qur-an mengistilahkan ijab- qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
Contoh ijab kobul nikah Wali : saya nikahkan engkou dengan anak saya yang bernama … (nama mempelai wanita) … dengan masa kawin …. (jumlah maskawin)… dibayar tunai Pengantin pria : saya terima nikahnya …(nama mempelai wanita) … dengan masa kawin …. (jumlah maskawin) …… dibayar tunai Ijab qobul ini tidak boleh terputus terselang dengan waktu yang lama, antar ucapan wali dengan ucapan pengantin laki-laki. Kalau ucapan pengantin laki-laki itu terputus (tidak menyambung/menyambut
perkataan wali) maka kawinya tidak sah. 2. Adanya mempelai pria.dan
wanita Rukun yang kedua ini adalah adanya kedua mempelai dan sarat-sarat keduanya adalah: a) Muslim & mukallaf (sehat
akal-baligh-merdeka) [7] b) Bukan mahrom
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan
ibadah haji. 3. Adanya wali. Wali berperan penting akan sahnya suatu pernikahan
sebagai mana sabda Rosululoh
SAW.: yang artinya ;
“barang siapa diatara
perempuan yang menikah
tidak dengan izin walinya maka pernikahanya batal”.
(H.R. Empat orang ahli hadit,
kecuali nasai). Syarat wali adalah :
a) Muslim laki-laki & mukallaf
(sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali
adalah sebagai berikut:
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara
laki – laki sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara
laki – laki seayah
g) Paman sekandung h) Paman seayah
i) Anak laki-laki dari paman
sekandung
j) Anak laki-laki dari paman
seayah.
k) Hakim 4. Adanya saksi (2 orang pria). Meskipun semua yang hadir
menyaksikan aqad nikah pada
hakikatnya adalah saksi,
tetapi Islam mengajarkan
tetap harus adanya 2 orang
saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut
menjadi sah. Sabda Rosululoh
SAW.: “tidak sah nikah
kecuali dengan wali dan dua
saksi yang adil”(H.R. Ahmad)
Syarat saksi adalah a) Muslim laki-laki & mukallaf
(sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan
melihat.
d) Tidak dipaksa. e) Memahami bahasa yang
dipergunakan untuk ijab-
qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan
ibadah haji. 5. Mahar. Beberapa ketentuan tentang
mahar : a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah [8]. b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik
mertua. c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan. d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan. e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. D. Hukum Nikah Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya : ü Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina. ü Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina. ü Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan
segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah. ü Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya. ü Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya. E. Tujuan dan Hikmah Nikah Tujuan Nikah ditinjau dari beberapa segi diantaranya : 1) Tujuan Fisiologis Yaitu bahwa sebuah keluarga
harus dapat menjadi : a. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman. b. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum- pakaian yang memadai. c. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya [9]. 2) Tujuan Psikologis Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi : a. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya. b. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman. c. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan
jiwanya. d. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga. 3) Tujuan Sosiologis Yaitu bahwa sebuah keluarga
harus dapat menjadi : a. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga. b. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar. 4) Tujuan Da’wah Yaitu bahwa sebuah keluarga
harus dapat menjadi : a. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i. b. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim. c. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif- kontributif dalam da’wah d. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari
kebatilan dan kemaksiatan Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya: 1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis[10] 2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa [11] 3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia[12] Rasulullah berkata : “Nikahlah,
supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi) 4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum) F. Doa Untuk Pengantin Baru Setelah pelaksanaan akad nikah sudah selesai disunatkan
membaca du’a kepada penagantin baru seperti dibawah ini : "Semoga
Allah
memberikan
berkah
kepadamu,
semoga Allah
mencurahkan
keberkahan
kepadamu. Dan semoga Allah mempersatukan kalian berdua
dalam kebaikan." Derajat hadits doa nikah ini adalah Hasan Shahih, diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam senantiasa mendoakan orang yang melangsungkan pernikahan dengan mengucapkan "Baarakallaahu laka, wa baaraka 'alaika, wa jama'a baynakumaa fii khair." (HR Tirmidzi, Abu Daud
dan Ibnu Majah). BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pengertian- pengertian nikah yang sudah dipaparkan diatas bias kita simpulkan Nikah itu adalah akad yang menghalalkan hubungan laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram, dalam akad itu dikatakan sah apabila terkumpulnya rukun dan sarat. Islam begitu sempurna syaerat yang dibawa oleh Rosuluh SAW.sesuai dengan pitroh manusia, yaitu dengan adanya pernikahan manusia menjadi tentram, beda halnya dengan Agama yang lain, seperti pendeta-pendeta dia tidak boleh menikah padahal pendeta juga manusia Sunguh banyak kebaikan dengan dilaksanakan nikah dan hikmah-hikmah yang bias kita ambil, baik dari diri sendiri, keluarga , sosial dan Agama B. Saran Wahai pemuda pemudi yang belum menikah apabila sudah siap maka cepat- cepatlah menikah karena pahala besar sedang menanti kalian apabila menikah. Penulis menyadari akan jauhnya kesempurnaan makalah ini, banyak yang belum saya ketahui dari itu saya mengharapkan masukan dan kritikanya dari semua pihak hususnya dosen saya Drs. Ajat Sudrajat M.Mpd, yang saya hormati, Dan saya saya ucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang membantu dalam membuat makalah ini terutama saya ucapkan terimakasih kepada guru-guru saya yang telah membimbing, memberi ilmu, sehingga saya bias membuat makalah ini
Pengertian nikah mengandung
tiga macam pengertian, yaitu: 1. Menurut lughot (bahasa)
2. Menurut ahli usul Fiqih
3. Menurut ulama ulama Fiqih a. Menikah menurut bahasa artinya al-wathu ( ) artinya berkumpul atau bersetubuh b. Nikah menurut ahli usul Fiqih ada tiga pendapat, yaitu: · Imam Hanapi, nikah menurut asli artinya ialah bersetubuh, menurut arti majazinya adalah akad yang denganya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita. · Imam Syafii, nikah menurut arti aslinya aqad yang dengannya menjadi halal hubungan kelamin antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazinya adalah setubuh. · Imam Abu Qosim dan Ibnu Hajm, nikah berkaitan antara aqad dan setubuh c. Nikah menurut Ulama Fiqih Nikah adalah aqad yang diatur oleh agama untuk memberikan hak memiliki kepada pria dalam pengunaan farji wanita, dan seluruh tubuhnya untuk dinikmati sebagai tujuan primer. Ø Syeh Jaenudin Abdul Ajij dalam kitab Pathul Muin, nikah ialah
suatu akad yang
membolehkan nya wati
(jima) dengan lapad nikah Ø Ahmad Bin Husen dalam kitab Pathu Qorib, nikah adalah akad nikah yang mengandung / kumpulnya rukun dan sarat. Ø Imam Tapiudin dalam kitab Kipayatul Ahyar, nikah adalah
suatu akad yang memenuhi
sarat dan rukun dan dengan
akad itu dihalalkanya wati
(jima). Jadi bisa disimpulkan dari beberapa definisi di atas nikah itu ialah akad yang menghalalkan hubungan laki- laki dengan perempuan yang bukan mahram, dalam akad itu dikatakan sah apabila terkumpulnya rukun dan sarat. pernikahan itu bukan saja merupakan suatu jalan yang sangat mulia untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan ketururunan, tetapi juga dipandang sebagi suatu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum degan dengan kaum yang lainya [3] . nikah adalah sunah nabi yang mulia maka dari itu sebelum melaksanakan pernikahan niat harus diluruskan dulu karena pernikahan itu satu kali seumur hidup yang mana dalam menjalaninya tentu tidak selalu yang diharapkan pasti ada cobaan yang akan dihadapi. Untuk itu kalau niat nikahnya karena Alloh (ibadah) maka Allohpun akan menolong dalam mengarungi rumahtangga dari setiap masalah, tapi sebaliknya apabila niat kita tidak benar seperti anggapan para pemuda
dari dulu sampai sekarang, mereka ingin menikah karena beberapa sebab diantaranya : Yang pertama Karena harta. Kehendak ini datang baik dari laki-laki maupun perempuan, missal inggin menikah dengan seorang hartawan, sekalipun dia tau bahwa pernikahan itu tidak akan sesuai dengan keadaan dirinya dan kehendak masyarakat, orang yang mementingkan pernikahan disebabkan harta benda yang diharap-harapkan atau yang akan dipungutnya pandangan ini bukan pandangan yang sehat, karena ada Sabda Rosululoh SAW.yang artinya :
” barang siapa menikahi seorang perempuan karena hartanya, niscaya Alloh akan melenyapkan harta dan kecantikanya dan barang siapa yang menikahi karena agama, niscaya alloh akan member karunia kepadanya dengan harta dan kecantikannya.” (Al-Hadits) . Dan hadis yang lainya pun mengatakan kalau menikah karena kekayaan maka ia akan mendapatkan kemiskinan. Yang kedua karena kebangsawanannya, berarti mengharapkan gelar atau pangkat. Ini juga tidak akan member i paedah sebagai mana yang diharapkan, bahkan ia akan bertambah hina dan dihinakan , karena kebangsawanan salah seorang diantara suami istri itu tidak akan berpindah kepada orang lain.
Sabda Rosululoh SAW.
Artinya :
“barang siapa yang menikahi
seseorang perempuan karena
kebangsawananya niscaya Alloh tidak akan menambah
kecuali kehinaan” (Al-Hadist) Yang ketiga, karena kecantikanya, menikah karena hal ini sedikit lebih baik dibandingkan dengan harta dan kebangsawanan sebab harta bisa lenyap dengan cepat, tetapi kecantikan seseorang bisa bertahan sampai tua, asal jangan dia bersifat sombong dan bangga karena kecantikanya itu
Sabda Rosululoh SAW.
Artinya :
“ jangan kamu menikahi
perempuan itu karena
kecantikannya, mungkin kecantikannya itu akan
membawa kerusakan bagi
mereka sendiri. (H.R. Baehaki) Yang keempat, kareana agama dan ahlak. Inilah yang patut dan baik menjadi ukuran untuk pergaulan yang akan kekal, serta dapat menjadi dasar kerukunan dan kemaslahatan rumah tangga serta semua keluarga.
Firman Alloh SWT.: “Sebab itu maka wanita yang
saleh, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri
ketika suaminya tidak ada,
oleh karena Allah telah
memelihara (mereka).” (An- Nisa : 34)
Sabda Rosululoh SAW. :
“Barang siapa yang menikahi
seseorang perempuan karena
agamanya niscaya Allo akan
mengaruniainya dengan harta”(Al-Hadits) Jadi jelas bahwa agama dan budi pekerti itulah yang menjadi pokok Yang utama untuk pemilihan dalm pernikahan. Dari keterangan- keterangan diatas, hendaknya wali-wali anak jangan menjodohklan anaknya, sebab kalau tidak dijalan yang benar, sudah tentu ia telah merusak ahlak dan jiwa anaknya yang tidak bersalah itu, harus dipertimbangkan dulu sedalam-dalamnya antara madarat dan manfaatnya yang akan terjadi
dikemudian hari, sebelum mempertalikan pernikahan. B. Persiapan Nikah 1. Khitbah (Melamar) Melamar adalah seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya dengan cara yang sudah berlaku dalam masyarakat. [4] Meminag merupakan pendahuluan menuju nikah
Dan para ahli piqih mendefinisikan khitbah (meminang) sebagai berikut: v Wahbah Zuhaili, mengatakan bahwa pinangan (khitbah) adalah pernyataan seorang lelaki kepada seorang perempuan bahwasanya ia ingin menikahinya, baik langsung kepada perempuan tersebut maupun kepada walinya. Penyampaian maksud ini boleh secara langsung ataupun dengan perwakilan wali. v Sayyid Sabiq, dengan ringkas mendefinisikan pinangan (khitbah) sebagai permintaan untuk mengadakan pernikahan oleh dua orang dengan perantaraan yang jelas. Pinangan ini merupakan syariat Allah SWT yang harus dilakukan sebelum mengadakan pernikahan agar kedua calon pengantin saling mengetahui. v Amir Syarifuddin, mendefinisikan pinangan sebagai penyampaian kehendak untuk melangsungkan ikatan perkawinan. Peminangan disyariatkan dalam suatu perkawinan yang waktu pelaksanaannya diadakan sebelum berlangsungnya akad nikah. v Al-hamdani, berpendapat bahwa pinangan artinya permintaan seseorang laki-laki
kepada anak perempuan orang lain atau seseorang perempuan yang ada di bawah perwalian seseorang untuk dikawini, sebagai pendahuluan nikah. a. Dasar dan Hukum Pinangan “Dan tidak ada dosa bagi
kamu meminang wanita-
wanita itu dengan sindiran” Dari Mughirah R.A., sesungguhnya ia pernah meminang seseorang perempuan, lalu Nabi SAW. Bersabda kepadanya: ” Lihatlah perempuan itu dahulu karena sesungguhnya melihat itu lebih cepat membawa kekekalan kecintaan antara keduanya.” (H.R. Nasa’i dan Tirmizi). Dari Abu Hurairah R.A., dia berkata, ” Aku duduk di dekat Nabi SAW. lalu datang seorang laki-
laki kepada beliau dan bercerita bahwa ia akan menikahi seseorang perempuan dari kaum Anshar.
Rasulullah lalu bersabda,”Sudahkah engkau lihat wajahnya?” laki-laki itu menjawab, “belum”. Rasulullah bersabda lagi,” pergi dan lihatlah karena sesungguhnya pada wajah kaum Anshar itu mungkin ada sesuatu yang menjadi cacat.” (H.R. Muslim dan Nasa’i) .
Memang terdapat dalam al-qur’an dan dalam banyak hadis Nabi yang membicarakan hal peminangan. Namun tidak ditemukan secara jelas dan terarah adanya perintah atau larangan melakukan peminangan, sebagaiman perintah untuk mengadakan perkawinan dengan kalimat yang jelas, baik dalam al- qur’an maupun dalam hadis Nabi. Oleh karena itu, dalam menetapkan hukumnya tidak terdapat pendapat ulama yang mewajibkannya, dalam arti hukumannya mubah [5]. Akan tetapi, Ibnu Rusyd dengan menukil pendapat imam Daud Al-Zhahiriy, mengatakan bahwa hukum pinangan adalah wajib. Ulama ini mendasarkan pendapatnya pada hadis-hadis nabi yang menggambarkan bahwa pinangan (khitbah) ini merupakan perbuatan dan tradisi yang dilakukan nabi dalam peminangan itu. b. Macam-Macam Peminangan Ada beberapa macam peminangan, diantaranya
sebagai berikut: 1. Secara langsung yaitu menggunakan ucapan yang jelas dan terus terang sehingga tidak mungkin dipahami dari ucapan itu kecuali untuk peminangan, seperti ucapan,”saya berkeinginan untuk menikahimu.” 2. Secara tidak langsung yaitu dengan ucapan yang tidak jelas dan tidak terus terang atau dengan istilah kinayah. Dengan pengertian lain ucapan itu dapat dipahami dengan maksud lain, seperti pengucapan,”tidak ada orang yang tidak menyukai sepertimu.” Perempuan yang belum kawin atau sudah kawin dan telah habis pula masa iddahnya boleh dipinang dengan ucapan langsung aau terus terang dan boleh pula dengan ucapan sindiran atau tidak langsung. Akan tetapi bagi wanita yang masih punya suami, meskipun dengan janji akan dinikahinya pada waktu dia telah boleh dikawini, tidak boleh meminangnya dengan menggunakan bahasa terus terang tadi. c. Ketentuan meminang 1. Perempuan yang tidak ada halangan hukum yang mencegah sahnya nikah . Perempuan yang tidak boleh
pinang (dilamar)
a. Perempuan yang sudah bersuami b. Perempuan yang dalam masa idah c. Perempuan yang termasuk mahrom baik sementara maupuin selamanya 2. Perempuan yang belum dipinang orang lain
Dari ukbah bin amir,
Rosulluloh SAW bersabda : “orang mukmin dengan orang mukmin adalah saudara, tidak boleh mukmin meminang atas pinangan saudaranya sehingga pinangan
ditinggalkanya.”(H.R. Ahmad dam Muslim)
Menurut hukum islam jangankan baru berpacaran, yang sudah resmi dilamar pun statusnya tetap haram berdua tanpa mahromnya Dari Jabir Rosulluloh SAW
bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Alloh dan hari akhir, maka janganlah sekalian mennyendiri dengan perempuan yang tidah disertai
mahromnya, sebab pihak ketiga adalah syetan” (H.R. Ahmad) d. Batas-Batas yang Boleh Dilihat Ketika Khitbah
Dalam hal ini, para ulama
terbagi menjadi empat bagian: 1. Hanya muka dan telapak tangan. Banyak ulama fiqih yang berpendapat demikian. Pendapat ini berdasarkan bahwa muka adalah pancaran kecantikan atau ketampanan seseorang dan telapak tangan ada kesuburan badannya. 2. Muka, telapak tangan dan kaki. Pendapat ini diutarakan oleh Abu Hanifah.
Wajah, leher, tangan, kaki, kepala dan betis. Pendapat ini dikedepankan para pengikut Hambali. 3. Bagian-bagian yang berdaging. Pendapat ini menurut al- Auza’i. 4. Keseluruh badan. Pendapat ini dikemukakan oleh Daud Zhahiri. Pendapat ini berdasarkan ketidakadaan hadis nabi yang menjelaskan batas-batas melihat ketika meminang. 2. Memilih calon istri Dalam memilih calon istri, Islam telah memberikan beberapa petunjuk di antaranya: a) Hendaknya calon istri memiliki dasar pendidikan agama dan berakhlak baik karena wanita yang mengerti agama akan mengetahui tanggung jawabnya sebagai istri dan ibu. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, beliau bersabda :
“Perempuan itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan karena agamanya, lalu pilihlah perempuan yang beragama niscaya kamu bahagia.” (Muttafaqun ‘Alaihi) Dalam hadits di atas dapat kita lihat, bagaimana beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menekankan pada sisi agamanya dalam memilih istri dibanding dengan harta, keturunan, bahkan kecantikan sekalipun.
Demikian pula Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : “Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang Mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun ia menarik hatimu … .” (QS. Al Baqarah : 221)
Sehubungan dengan kriteria memilih calon istri berdasarkan akhlaknya, Allah berfirman: “Wanita-
wanita
yang keji adalah
untuk laki- laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita- wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik, dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula) … .” (QS. An Nur : 26) Seorang wanita yang memiliki ilmu agama tentulah akan berusaha dengan ilmu tersebut agar menjadi wanita yang shalihah dan taat pada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Wanita yang shalihah akan dipelihara oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana firman-Nya : “Maka wanita-wanita yang
shalihah ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara
dirinya, oleh karena itu Allah
memelihara mereka.” (QS. An
Nisa’ : 34) Sedang wanita shalihah bagi
seorang laki-laki adalah
sebaik-baik perhiasan dunia. “Dunia adalah perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan dunia
adalah wanita shalihah.” (HR.
Muslim) b) Hendaklah calon istri itu penyayang dan banyak anak. Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam pernah bersabda : Dari Anas bin Malik, Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda :
” … kawinilah perempuan
penyayang dan banyak anak
… .” (HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibban) Al Waduud berarti yang penyayang atau dapat juga berarti penuh kecintaan, dengan dia mempunyai banyak sifat kebaikan, sehingga membuat laki-laki berkeinginan untuk menikahinya. Sedang Al Mar’atul Waluud adalah perempuan yang banyak melahirkan anak. Dalam memilih wanita yang banyak melahirkan anak ada dua hal yang perlu diketahui : 1. Kesehatan fisik dan penyakit- penyakit yang menghalangi dari kehamilan. Untuk mengetahui hal itu dapat meminta bantuan kepada para
spesialis. Oleh karena itu seorang wanita yang mempunyai kesehatan yang baik dan fisik yang kuat biasanya mampu melahirkan banyak anak, disamping dapat memikul beban rumah tangga juga dapat menunaikan kewajiban mendidik anak serta menjalankan tugas sebagai istri secara sempurna. 2. Melihat keadaan ibunya dan saudara-saudara perempuan yang telah menikah sekiranya mereka itu termasuk wanita- wanita yang banyak melahirkan anak maka biasanya wanita itu pun akan seperti itu. c) Hendaknya memilih calon istri yang masih gadis terutama
bagi pemuda yang belum
pernah nikah. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai hikmah secara sempurna dan manfaat yang agung, di antara manfaat tersebut adalah memelihara keluarga dari hal- hal yang akan menyusahkan kehidupannya,
menjerumuskan ke dalam berbagai perselisihan, dan menyebarkan polusi kesulitan dan permusuhan. Pada waktu yang sama akan mengeratkan tali cinta kasih suami istri. Sebab gadis itu akan memberikan sepenuh kehalusan dan kelembutannya kepada lelaki yang pertama kali melindungi,
menemui, dan mengenalinya. Lain halnya dengan janda, kadangkala dari suami yang kedua ia tidak mendapatkan kelembutan hati yang sesungguhnya karena adanya perbedaan yang besar antara akhlak suami yang pertama dan suami yang kedua. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan sebagian hikmah menikahi seorang gadis : Dari Jabir, dia berkata, saya telah menikah maka kemudian saya mendatangi Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam dan bersabda beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam : “Apakah kamu sudah menikah ?” Jabir berkata, ya sudah. Bersabda Rasulullah : “Perawan atau janda?” Maka saya menjawab, janda. Rasulullah bersabda : “Maka mengapa kamu tidak menikahi gadis perawan, kamu bisa bermain dengannya dan dia bisa bermain denganmu.” d) Mengutamakan orang jauh (dari kekerabatan) dalam perkawinan. Hal ini dimaksudkan untuk keselamatan fisik anak keturunan dari penyakit- penyakit yang menular atau cacat secara hereditas. Sehingga anak tidak tumbuh besar dalam keadaan lemah atau mewarisi cacat kedua orang tuanya dan penyakit-penyakit nenek moyangnya. Di samping itu juga untuk memperluas pertalian kekeluargaan dan mempererat ikatan-ikatan sosial. 3. Kriteria Memilih Calon Suami 1. Islam. Ini adalah kriteria yang sangat penting bagi seorang Muslimah dalam memilih calon suami sebab dengan Islamlah satu-satunya jalan yang menjadikan kita selamat dunia dan akhirat kelak. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “ … dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita- wanita Mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang Mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke Surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat- ayat-Nya (perintah-perintah- Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al Baqarah : 221) 2. Berilmu dan Baik Akhlaknya. Masa depan kehidupan suami-istri erat kaitannya dengan memilih suami, maka Islam memberi anjuran agar memilih akhlak yang baik, shalih, dan taat beragama. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila kamu sekalian didatangi oleh seseorang yang Dien dan akhlaknya kamu ridhai maka kawinkanlah ia. Jika kamu sekalian tidak melaksanakannya maka akan terjadi fitnah di muka bumi ini
dan tersebarlah kerusakan.” (HR. At Tirmidzi) Islam memiliki pertimbangan dan ukuran tersendiri dengan meletakkannya pada dasar takwa dan akhlak serta tidak menjadikan kemiskinan sebagai celaan dan tidak menjadikan kekayaan sebagai pujian. Sebagaimana firman Allah Ta’ala :
“Dan kawinkanlah orang- orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (nikah) dan hamba- hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nur : 32) Laki-laki yang memilki keistimewaan adalah laki-laki yang mempunyai ketakwaan dan keshalihan akhlak. Dia mengetahui hukum-hukum Allah tentang bagaimana memperlakukan istri, berbuat baik kepadanya, dan menjaga kehormatan dirinya serta agamanya, sehingga dengan demikian ia akan dapat menjalankan kewajibannya secara sempurna di dalam membina keluarga dan menjalankan kewajiban- kewajibannya sebagai suami, mendidik anak-anak, menegakkan kemuliaan, dan menjamin kebutuhan- kebutuhan rumah tangga dengan tenaga dan nafkah. Jika dia merasa ada kekurangan pada diri si istri yang dia tidak sukai, maka dia
segera mengingat sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yaitu : Dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
“Jangan membenci seorang Mukmin (laki-laki) pada Mukminat (perempuan) jika ia tidak suka suatu kelakuannya pasti ada juga kelakuan lainnya yang ia sukai.” (HR. Muslim) Sehubungan dengan memilih calon suami untuk anak perempuan berdasarkan ketakwaannya, Al Hasan bin Ali rahimahullah pernah berkata pada seorang laki- laki :
“Kawinkanlah puterimu dengan laki-laki yang bertakwa sebab jika laki-laki itu mencintainya maka dia akan memuliakannya, dan jika tidak menyukainya maka
dia tidak akan mendzaliminya.” Untuk dapat mengetahui agama dan akhlak calon suami, salah satunya mengamati kehidupan si calon suami sehari-hari dengan cara bertanya kepada orang-orang dekatnya, misalnya tetangga, sahabat, atau saudara dekatnya. C. Rukun Nikah Rukun nikah dalam madhab Imam Syafii, itu ada lima, rukun nikah ini harus kumpul semuanya [6] karena kalau salah satunya tidak ada, maka pernikahan tidak sah dari kelima rukun tersebut antaralain : 1. Ijab-Qabul Islam menjadikan Ijab (pernyataan wali dalam menyerahkan mempelai wanita kepada mempelai pria) dan Qabul (pernyataan mempelai pria dalam menerima ijab) sebagai bukti kerelaan kedua belah pihayk. Al Qur-an mengistilahkan ijab- qabul sebagai miitsaaqan ghaliizhaa (perjanjian yang kokoh) sebagai pertanda keagungan dan kesucian, disamping penegasan maksud niat nikah tersebut adalah untuk selamanya.
Syarat ijab-qabul adalah :
a) Diucapkan dengan bahasa yang dimengerti oleh semua pihak yang hadir.
b) Menyebut jelas pernikahan & nama mempelai pria-wanita
Contoh ijab kobul nikah Wali : saya nikahkan engkou dengan anak saya yang bernama … (nama mempelai wanita) … dengan masa kawin …. (jumlah maskawin)… dibayar tunai Pengantin pria : saya terima nikahnya …(nama mempelai wanita) … dengan masa kawin …. (jumlah maskawin) …… dibayar tunai Ijab qobul ini tidak boleh terputus terselang dengan waktu yang lama, antar ucapan wali dengan ucapan pengantin laki-laki. Kalau ucapan pengantin laki-laki itu terputus (tidak menyambung/menyambut
perkataan wali) maka kawinya tidak sah. 2. Adanya mempelai pria.dan
wanita Rukun yang kedua ini adalah adanya kedua mempelai dan sarat-sarat keduanya adalah: a) Muslim & mukallaf (sehat
akal-baligh-merdeka) [7] b) Bukan mahrom
c) Tidak dipaksa.
d) Orangnya jelas.
e) Tidak sedang melaksanakan
ibadah haji. 3. Adanya wali. Wali berperan penting akan sahnya suatu pernikahan
sebagai mana sabda Rosululoh
SAW.: yang artinya ;
“barang siapa diatara
perempuan yang menikah
tidak dengan izin walinya maka pernikahanya batal”.
(H.R. Empat orang ahli hadit,
kecuali nasai). Syarat wali adalah :
a) Muslim laki-laki & mukallaf
(sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Tidak dipaksa.
d) Tidaksedang melaksanakan ibadah haji.
Tingkatan dan urutan wali
adalah sebagai berikut:
a) Ayah
b) Kakek
c) Saudara laki-laki sekandung d) Saudara laki-laki seayah
e) Anak laki-laki dari saudara
laki – laki sekandung
f) Anak laki-laki dari saudara
laki – laki seayah
g) Paman sekandung h) Paman seayah
i) Anak laki-laki dari paman
sekandung
j) Anak laki-laki dari paman
seayah.
k) Hakim 4. Adanya saksi (2 orang pria). Meskipun semua yang hadir
menyaksikan aqad nikah pada
hakikatnya adalah saksi,
tetapi Islam mengajarkan
tetap harus adanya 2 orang
saksi pria yang jujur lagi adil agar pernikahan tersebut
menjadi sah. Sabda Rosululoh
SAW.: “tidak sah nikah
kecuali dengan wali dan dua
saksi yang adil”(H.R. Ahmad)
Syarat saksi adalah a) Muslim laki-laki & mukallaf
(sehat akal-baligh-merdeka).
b) ‘Adil
c) Dapat mendengar dan
melihat.
d) Tidak dipaksa. e) Memahami bahasa yang
dipergunakan untuk ijab-
qabul.
f) Tidak sedang melaksanakan
ibadah haji. 5. Mahar. Beberapa ketentuan tentang
mahar : a) Mahar adalah pemberian wajib (yang tak dapat digantikan dengan lainnya) dari seorang suami kepada isteri, baik sebelum, sesudah maupun pada saat aqad nikah [8]. b) Mahar wajib diterimakan kepada isteri dan menjadi hak miliknya, bukan kepada/milik
mertua. c) Mahar yang tidak tunai pada akad nikah, wajib dilunasi setelah adanya persetubuhan. d) Mahar dapat dinikmati bersama suami jika sang isteri memberikan dengan kerelaan. e) Mahar tidak memiliki batasan kadar dan nilai. Syari’at Islam menyerahkan perkara ini untuk disesuaikan kepada adat istiadat yang berlaku. Boleh sedikit, tetapi tetap harus berbentuk, memiliki nilai dan bermanfaat. D. Hukum Nikah Para fuqaha mengklasifikasikan hukum nikah menjadi 5 kategori yang berpulang kepada kondisi pelakunya : ü Wajib, bila nafsu mendesak, mampu menikah dan berpeluang besar jatuh ke dalam zina. ü Sunnah, bila nafsu mendesak, mampu menikah tetapi dapat memelihara diri dari zina. ü Mubah, bila tak ada alasan yang mendesak/mewajibkan
segera menikah dan/atau alasan yang mengharamkan menikah. ü Makruh, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah tetapi tidak merugikan isterinya. ü Haram, bila nafsu tak mendesak, tak mampu memberi nafkah sehingga merugikan isterinya. E. Tujuan dan Hikmah Nikah Tujuan Nikah ditinjau dari beberapa segi diantaranya : 1) Tujuan Fisiologis Yaitu bahwa sebuah keluarga
harus dapat menjadi : a. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan sarana berteduh yang baik & nyaman. b. Tempat semua anggota keluarga mendapatkan kosumsi makan-minum- pakaian yang memadai. c. Tempat suami-isteri dapat memenuhi kebutuhan biologisnya [9]. 2) Tujuan Psikologis Yaitu bahwa sebuah keluarga harus dapat menjadi : a. Tempat semua anggota keluarga diterima keberadaannya secara wajar & apa adanya. b. Tempat semua anggota keluarga mendapat pengakuan secara wajar dan nyaman. c. Tempat semua anggota keluarga mendapat dukungan psikologis bagi perkembangan
jiwanya. d. Basis pembentukan identitas, citra dan konsep diri para anggota keluarga. 3) Tujuan Sosiologis Yaitu bahwa sebuah keluarga
harus dapat menjadi : a. Lingkungan pertama dan terbaik bagi segenap anggota keluarga. b. Unit sosial terkecil yang menjembatani interaksi positif antara individu anggota keluarga dengan masyarakat sebagai unit sosial yang lebih besar. 4) Tujuan Da’wah Yaitu bahwa sebuah keluarga
harus dapat menjadi : a. Menjadi obyek wajib da’wah pertama bagi sang da’i. b. Menjadi prototipe keluarga muslim ideal (bagian dari pesona islam) bagi masyarakat muslim dan nonmuslim. c. Setiap anggota keluarga menjadi partisipan aktif- kontributif dalam da’wah d. Memberi antibodi/imunitas bagi anggota keluarga dari
kebatilan dan kemaksiatan Islam tidak mensyari’atkan sesuatu melainkan dibaliknya terdapat kandungan keutamaan dan hikmah yang besar. Demikian pula dalam nikah, terdapat beberapa hikmah dan maslahat bagi pelaksananya: 1. Sarana pemenuh kebutuhan biologis[10] 2. Sarana menggapai kedamaian & ketenteraman jiwa [11] 3. Sarana menggapai kesinambungan peradaban manusia[12] Rasulullah berkata : “Nikahlah,
supaya kamu berkembang menjadi banyak. Sesungguhnya saya akan membanggakan banyaknya jumlah ummatku.” (HR. Baihaqi) 4. Sarana untuk menyelamatkan manusia dari dekadensi moral.
Rasulullah pernah berkata kepada sekelompok pemuda : “Wahai pemuda, barang siapa diantara kalian mampu kawin, maka kawinlah. Sebab ia lebih dapat menundukkan pandangan dan menjaga kemaluan. Namun jika belum mampu, maka berpuasalah, karena sesungguhnya puasa itu sebagai wija’ (pengekang syahwat) baginya.” (HR Bukhari dan Muslim dalam Kitab Shaum) F. Doa Untuk Pengantin Baru Setelah pelaksanaan akad nikah sudah selesai disunatkan
membaca du’a kepada penagantin baru seperti dibawah ini : "Semoga
Allah
memberikan
berkah
kepadamu,
semoga Allah
mencurahkan
keberkahan
kepadamu. Dan semoga Allah mempersatukan kalian berdua
dalam kebaikan." Derajat hadits doa nikah ini adalah Hasan Shahih, diriwayatkan dari shahabat Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam senantiasa mendoakan orang yang melangsungkan pernikahan dengan mengucapkan "Baarakallaahu laka, wa baaraka 'alaika, wa jama'a baynakumaa fii khair." (HR Tirmidzi, Abu Daud
dan Ibnu Majah). BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Dari pengertian- pengertian nikah yang sudah dipaparkan diatas bias kita simpulkan Nikah itu adalah akad yang menghalalkan hubungan laki-laki dengan perempuan yang bukan mahram, dalam akad itu dikatakan sah apabila terkumpulnya rukun dan sarat. Islam begitu sempurna syaerat yang dibawa oleh Rosuluh SAW.sesuai dengan pitroh manusia, yaitu dengan adanya pernikahan manusia menjadi tentram, beda halnya dengan Agama yang lain, seperti pendeta-pendeta dia tidak boleh menikah padahal pendeta juga manusia Sunguh banyak kebaikan dengan dilaksanakan nikah dan hikmah-hikmah yang bias kita ambil, baik dari diri sendiri, keluarga , sosial dan Agama B. Saran Wahai pemuda pemudi yang belum menikah apabila sudah siap maka cepat- cepatlah menikah karena pahala besar sedang menanti kalian apabila menikah. Penulis menyadari akan jauhnya kesempurnaan makalah ini, banyak yang belum saya ketahui dari itu saya mengharapkan masukan dan kritikanya dari semua pihak hususnya dosen saya Drs. Ajat Sudrajat M.Mpd, yang saya hormati, Dan saya saya ucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang membantu dalam membuat makalah ini terutama saya ucapkan terimakasih kepada guru-guru saya yang telah membimbing, memberi ilmu, sehingga saya bias membuat makalah ini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar